Gagal Masuk Kampus Negeri, Bukan Berarti Segalanya

Belakangan ini banyak postingan yang beredar di sosial media perihal seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Baik itu SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) ataupun SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri), ini membuatku bernostalgia.

Pasalnya, tepat pada 2 tahun yang lalu, aku pernah ada di masa-masa melelahkan itu. Segala upaya dan usaha telah aku lakukan untuk dapat masuk perguruan tinggi negeri. Ini menjadi mimpiku sejak duduk di bangku SMK.

Aku berasal dari Sekolah Kejuruan atau SMK. Saat itu, keinginanku untuk masuk Fakultas Ilmu Komputer sangat besar sekali. Sampai saatnya, pada tahun 2019, aku memberanikan diri untuk mendaftar di Universitas Singaperbangsa Karawang melalui jalur SBMPTN.

Untuk meraih mimpi itu, aku mengerahkan segala kemampuan dan usaha yang aku miliki untuk bisa masuk ke salah satu kampus bergengsi yang ada di daerah Karawang tersebut.

Saat mendekati pengumuman tes dari LTMPT (Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi), aku sempat terpikir istilah gapyear atau mengulang tahun depan. Pikiran ini terus menghantuiku saat itu.

Dan pada akhirnya hari itu tiba. Hari di mana seluruh siswa SMA sederajat se-Indonesia menunggunya. Hari yang menentukan apakah aku bisa lolos atau mengulang lagi tahun depan. Pikiran itu terus membayangiku.

Namun hasil berkata lain, tepat pada 9 Juli 2019, nama itu berwarna merah. Pertanda bahwa nama “Farhan Ramadhan” belum berhasil masuk Perguruan Tinggi Negeri.

Aku berusaha ikhlas dan sabar untuk menerima segalanya. Meskipun ini sangat menyedihkan menurutku, tapi tidak membuatku putus asa begitu saja.

Aku bangkit dan merangkai kembali mimpi-mimpiku yang roboh itu. Pada tahun yang sama, aku mencoba kembali untuk mendaftarkan diri di salah satu kampus swasta yang ada di daerah Rawamangun, Jakarta Timur. Namun saat itu, hasil berkata lain. Aku dinyatakan tidak lolos kembali karena hal administrasi.

Sempat terpikir untuk menyerah dan memilih untuk bekerja. Namun, orang tua, keluarga, guru, dan kerabat dekat selalu memberi dukungan kepadaku untuk bisa melanjutkan kuliah.

Masih di tahun yang sama, aku mendaftakan diri di kampus STMIK Antar Bangsa melalui jalur Beasiswa Bidikmisi. Jalur yang diberikan oleh pemerintah untuk para calon mahasiswa yang memiliki keinginan dan semangat tinggi untuk belajar.

Saat pengumuman itu tiba, alhamdulillah namaku masuk ke dalam salah satu mahasiswa yang lolos di kampus tersebut. Campur perasaanku ketika itu. Senang, sedih, bersyukur aku rasakan secara bersamaan. Begitu pula dengan orang tua, keluarga, guru, serta kerabat yang setia mendukungku sejak awal. Ini adalah karunia besar yang telah Allah berikan kepadaku.

Di semester pertama, aku sangat memanfaatkan moment itu untuk belajar dan mengembangkan potensi yang aku miliki. Aku mengikuti beberapa UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) sebagai tempat untuk aku terus belajar dan memperluas relasi.

Di semester tiga, kesibukanku bertambah lagi. Mulai menjadi content creator, writer news, menjadi narasumber di Radio Daqu, hingga mengikuti beberapa ajang perlombaan. Rasanya senang bisa aktif dan bisa jajan pakai uang hasil keringat sendiri.

Disaat aku menjalani pekerjaanku sebagai content creator dan writer news, menurutku ini sebuah hal yang baru dan bisa menjadi media untuk aku terus belajar. Mulai dari menyusun dan membuat konten, hingga berkunjung ke beberapa tempat untuk mencari sebuah berita. Ini aku lakukan bersama beberapa timku yang super-super hebatnya.

Di semester yang sama pula, aku berkesempatan menjadi narasumber di Radio Daqu bersama Ketua STMIK Antar Bangsa Ustadz Tarmizi As Shidiq, S.E., M.Ag, dan Ustadz Dwi Makmun. Di acara podcast itu, aku berbagi pengalamanku ketika awal-awal masuk STMIK Antar Bangsa, mulai dari berjualan air mineral di taman kota, hingga berjualan es di Sekolah Dasar dekat dengan kost aku berada. Siapa sangka, dari kegiatan itu aku bisa mendapatkan banyak sekali pengalaman yang tidak bisa aku lupakan seumur hidupku.

Selain aktif di kegiatan non akedemik, aku juga aktif mengikuti beberapa ajang perlombaan. Bersama dua temanku, kami dipercaya untuk mewakili kampus untuk mengikuti Lomba Cerdas Cermat tingkat nasional yang diselenggarakan oleh salah satu televisi nasional. Di sana kami berkompetisi melawan kampus negeri dan swasta. Ada dari Universitas Negeri Jakarta, dan Universitas Djuanda Bogor. Bersama tim, kami berhasil memenangkan kompetisi tersebut dengan menjadi juara pertama, dan meraih uang tunai.

Pengalamanku selama di STMIK Antar Bangsa kerap mengingatkanku kepada impianku yang pernah pupus dua tahun yang lalu. Dari sini aku belajar bahwa untuk meraih kesuksesan itu tidak melihat dari kampus mana kita berada. Tapi dilihat dari kegigihan dan semangat kita untuk meraih mimpi itu.

Artikel Lainya

Artikel By

Artikel Terkait